Kamis, 28 Juni 2012

FENOMENA KEBUDAYAAN SUKU BADUY

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan atau culture adalah keseluruhan pemikiran dan benda yang dibuat atau diciptakan oleh manusia dalam perkembangan sejarahnya. Ruth Benedict melihat kebudayaan sebagai pola pikir dan berbuat yang terlihat dalam kehidupan sekelompok manusia dan yang membedakannya dengan kelompok lain. Para ahli umumnya sepakat bahwa kebudayaan adalah perilaku dan penyesuaian diri manusia berdasarkan hal-hal yang dipelajari.



B. Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan masyarakat suku baduy dan asal mereka?
2.      Bagaimanakah kebudayaan suku baduy?
3.      Apakah tujuh unsure yang merupakan kebudayaan suku baduy?


C. Tujuan
1. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Antropologi yang diampu oleh Dra. Sutiyah, M.Pd
2. Mengetahui tentang masyarakat suku baduy dengan asal-usulnya
3. Mengetahui tentang kebudayaan suku baduy
4. Memahami tujuh unsure yang merupakan kebudayaan suku baduy


















BAB II
PEMBAHASAN

A. Suku Baduy
Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu suku baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kevamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah selatan ibukota Provinsi Banten. Masyarakat baduy yang menempati areal 5.108 ha desa terluas di Provinsi Banten ini mengasingkan diri dari dunia luar dan dengan sengaja menolak dan tidak terpengaruh oleh masyarakat lainnya, dengan cara menjadikan daerahnya sebagai tempat suci di Penembahan Arca Domas dan keramat. Masyarakat baduy merupakan suku asli Banten yang masih menjaga anti modernisasi dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Masyarakat suku baduy menolak teknologi modern apapun termasuk televisi, radio, listrik dan lainnya.
Sebutan dan asal Orang Baduy, Orang Baduy hanya mengenal bahasa lisan. Oleh karena itu, asal-usul mereka dicatat dalam ingatan dari generasi ke generasi dalam cerita tentang karuhun mereka. Bagi Orang Baduy, yang melihat tentang catatan waktu ialah segala peristiwa dalam kehidupan masyarakatnya, proses waktu merupakan perjalanan riwayat dunia yang setara dengan keadaan alam semesta. Demikian juga halnya mengenai asal dan sebutan Orang Baduy sebaiknya dilihat dari segi apakah anggapan mereka tentang dirinya sendiri, yaitu berbagai kaitan karuhun dengan alam semesta menurut perputaran waktu dan masa yang menempatkan mereka pada posisinya tertentu seperti digariskan pada awal eksistensinya.
 Sebutan terhadap orang Baduy dapat dibagi pada dua jenis, yaitu sebutan yang diberikan oleh orang luar masyarakatnya dan mereka menyebut dirinya sendiri. Sebutan mana yang lebih dikenal akan tergantung pula pada kekerapan istilah itu menurut kebiasaan dan keinginan para pemakai istilah. Dalam menelaah penggunaan sebutan untuk orang Baduy, adalah menarik ditinjau bagaimana sebutan itu digunakan dalam jangka waktu yang panjang selama beberapa ratus tahun. Dengan demikian, nama Baduy kini seperti telah digunakan sebagai sebutan untuk kelompok masyarakat yang tinggal di Desa Kanekes, tampaknya bermula setelah agama Islam masuk ke wilayah Banten utara pada Abad ke-16.
Sebutan Baduy dikaitkan dengan unsur kebudayaan mereka sendiri. Dikemukakan bahwa kata Baduy tidak ada konotasi sebagai kata hinaan dan juga tidak ada kaitannya dengan kata Badwi, tetapi semata-mata nama Baduy yang berasal dari kata Cibaduy, nama sungai di sebelah utara Desa Kanekes. Itu artinya, untuk menyebut diri sendiri memang merupakan salah satu kebiasaan masyarakat Sunda menyebut nama kampung atau tempat bermukim, tempat dilahirkan atau tempat yang dapat memberikan arti penting dalam kehidupannya. Sehubungan dengan itu, tidaklah mengherankan apabila sebutan urang Kanekes dipakai pula oleh mereka, sebagai sebutan yang menekankan hakekat dan nilai budayanya. Orang Baduy adalah orang-orang setempat yang sudah berada di sana sejak lama sebelum pengaruh Islam tiba dan mengubah kepercayaan setempat.

B. Kebudayaan Suku Baduy
Suku baduy tidak mengenal strata sosial apalagi kesenjangan sosial, mereka hidup secara gotong royong dan tidak ada keserakahan yang terjadi diantara mereka. Banyak sekali larangan yang diatur dalam hukum adat mereka. Seperti larangan anak –anak tidak boleh bersekolah, tidak boleh memelihara ternak berkaki empat, tidak boleh bepergian menggunakan kendaraan, tidak boleh menggunakan peralatan elektronik, tidak boleh membangun rumah menggunakan paku dan besi, tidak boleh bersuami atau beristri lebih dari satu. Dilarang keras memakai produk yang mengandung zat kimia seperti sabun, pasta gigi, shampo, deterjen dan produk lain yang dapat mencemari lingkungan.
Masyarakat baduy bagaikan sebuah negara yang tatanan hidupnya diaturoleh hukum adat yang sangat kuat. Semua kewenangan yang berlandaskan kebijaksanaan dan keadilan berada di tangan pimpinan tertinggi, yaitu Puun. Puun bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat yangdalam menjalankan tugasnya itu dibantu juga oleh beberapa tokoh adat lainnya. Sebagian orang yang tidak tahan dengan segala aturan yang ditetapkan hukum adat, keluar dari komunitas baduy (baduy Dalam) dan membentuk komunitas baru yaitu baduy Luar, dengan aturan adat yang lebih longgar. Sebagai tanda setia kepada Pemerintahan RI, setiap akhir tahun suku yang berjumlah 7.512 jiwa dan tersebar dalam 67 kampung ini mengadakan upacara Seba kepada "Bapak Gede" (Panggilan Kepada Bupati Lebak) dan Camat Leuwidamar. Dengan kebijakan pemerintah Kabupaten Lebak ingin membangun kawasan baduy dan menjadikan baduy menjadi obyek wisata, bagi masyarakat baduy merupakan acaman kelestarian nilai-nilai adat leluhur.
Secara lebih rinci dapat dijabarkan tentang tujuh unsure yang merupakan unsure kebudayaan orang baduy, yaitu:
1)      Sistem Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes.
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.
Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
2)      Peralatan Hidup
Masyarakat Baduy memilih tumbuhan bambu sebagai teman hidupnya. Bambu dengan segala kelebihannya telah menyediakan dirinya menjadi bahan baku bagi hampir semua kebutuhan hidup manusia. Hampir tidak ada dari bagian tumbuhan ini, mulai dari akar hingga pucuk dan daun-nya yang tidak bisa dimanfaatkan. Akar bambu sering dipakai sebagai bahan ramuan obat, pucuk (rebung) bambu dibuat sayuran, dan batang bambu dewasa untuk bermacam keperluan bangunan. Bahkan tanah tempat bekas rumpun bambu adalah bagian tanah yang amat subur untuk berladang.
Bambu telah menyediakan hampir semua kebutuhan peralatan hidup bagi manusia Baduy. Gelas Bambu adalah yang paling sederhana. Orang Baduy, terutama kelompok Baduy Dalam mengkreasi gelas minum dari bambu dengan berbagai ukuran. Struktur tumbuhan yang berlubang di tengah dengan buku-buku kokoh yang menjadi pembatas antar ruas-ruasnya telah dimanfaatkan secara cerdas untuk menciptakan gelas-gelas tempat minum manusia. Selain gelas, bambu juga dapat dibuat berbagai peralatan dapur dan rumah tangga, seperti sendok, garpu, sumpit, dan untuk menanak nasi. Bambu kering kerap juga digunakan sebagai kayu bakar untuk perapian memasak makanan.
3)      Mata Pencaharian
Bertani adalah mata pencarian utama masyarakat Baduy di desa Kanekes, tetapi dalam mengelolah lahan / tanah mereka tetap memegang aturan-aturan yang telah digariskan oleh pikukuhnya, yaitu tanah tidak boleh dicangkul sehingga erosi di setiap lahan pertanian orang Baduy relatif dapat dihindarkan atau kecil sekali. Begitu pula untuk melindungi tata air, kebersiahn dan kelestarian dari adanya pencemaran sungai, pembuatan rumah, penempatan lumbung padi, semuanya berintegritasi secara fungsional dalam kehidupan mereka yang hidup berdasarkan pikukuh aturan adat. Dengan demikian ekosistem masyarakat Baduy di desa Kenekes terdapat suatu keseimbangan yang dinamakan homeostatis yaitu kemampuan ekosistem untuk menaham berbagai perubahan dalam sistem secara keseluruhan. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
4)      Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
5)      Kesenian
Alat musik tiup seperti seruling bambu, angklung, dan kentongan adalah beberapa contoh penggunaan ruas-ruas bambu dengan berbagai ukuran bagi kepentingan pemenuhan hasrat bermusik atau berkesenian orang Baduy. Pembuatan wayang dari anyaman bambu juga sering dijumpai di komunitas Baduy, dan banyak lagi. Perlengkapan kerja seperti caping (tudung) yang biasa digunakan bekerja di ladang di tengah terik matahari terbuat dari bambu. Terdapat juga tikar bambu, atau sekedar anyaman bambu yang agak kasar, yang biasanya digunakan untuk menjemur ketela, kopi, kelapa, bahkan padi. Bakul berukuran kecil, sedang dan besar dibuat dari bambu. Bambu Timba adalah alat mengambil dan membawa air dari sungai atau pancuran hampir dimiliki di setiap rumah orang Baduy.
6)      Sistem Kekerabatan
·         Kampung dan Ikatan Kekerabatan
Untuk melihat kekerabatan orang Baduy, lokasi tempat tinggal mereka dianggap penting. Lokasi permukiman itu menentukan pada kedudukan mana terletak seseorang sebagai keturunan para Batara. Selain itu, dapat pula dipahami berbagai sistem sosial lainnya seperti perkawinan, pola tempat tinggal sesudah kawin, penempatan rumah di kampung yang dapat memberikan gambaran tentang kekerabatan dan kedudukannya dalam masyarakat.
Hubungan antara sistem kekerabatan dan lokasi kampung dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: pertama tentang kampung tangtu; kedua, kampung panamping; dan ketiga pajaroan. Tentang hal itu, ekpresi orang Baduy menyatakan bahwa seluruh wilayah Desa Kanekes adalah tangtu teulu jaro tujuh. Artinya, bahwa wilayah Kanekes seluruh penduduknya merupakan satu kerabat yang berasal dari satu nenek moyang, kalau pun ada perbedaan terletak pada tua dan muda dari sisi generasi.
Dalam kekerabatan orang Baduy, Cikeusik dianggap yang tertua, Cikertawana yang menengah dan Cibeo yang termuda. Oleh karena itu, Puun Cikeusik lah yang mengurus kunjungan tahunan ke Sasaka Domas tempat yang disucikan oleh orang Baduy. Kerabat yang lebih muda cukup dengan mengikuti yang tertua. Demikian juga halnya dengan pembagian kombala, berupa tanah putih dan lumut yang dibawa dari tempat itu, mengikuti ketentuan kerabat tua dan muda.
Namun demikian, untuk memudahkan pembahasan kekerabatan, istilah kekerabatan atau kinship dalam tulisan ini mengacu pada sejumlah status (posisi atau kedudukan sosial), dan saling hubungan antarstatus sesuai dengan prinsip-prinsip budaya yang berlaku terutama digunakan untuk: (1) menarik garis pemisah antara kaum-kerabat (kin) dan bukan kaum-kerabat (non-kin); (2) menentukan hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain secara tepat; (3) mengukur jauh/dekatnya hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain; dan (4) menentukan bagaimana seseorang harus berperilaku terhadap seseorang yang lain sesuai dengan aturan-aturan kekerabatan yang disepakati bersama.
Prinsip kekerabatan tersebut, mengungkapkan bahwa kekerabatan Orang Baduy tidak menyimpang dari model klasik untuk beberapa masyarakat Indonesia Timur. Namun, ada beberapa perubahan yang terjadi disebabkan oleh isolasi yang dilakukan Orang Baduy sendiri.
·         Sistem Perkawinan
Sistem perkawinan pada masyarakat baduy adalah sistem perkawinan Monogami. Seorang laki-laki baduy tidak boleh beristri lebih dari seorang dan perkawinan Poligami merupakan suatu hal yang “buyut” (tabu). Sistem perkawinan Monogami itu sejalan dengan Azas Perkawinan kita diatur dalam Undang-undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga adat istiadat perkawinan masyarakat baduy yangbersifat Monogami ini perlu dibina dan dilestarikan.
Perkawinan anak laki-laki yang pertama (kakak) dari suatu garis keturunan dengan anak perempuan yang terakhir (adik) dari garis keturunan yang lain. Kemudian hal yang dianggap penting dalam kaitan dengan ketentuan itu adalah adik tidak boleh melangsungkan perkawinan sebelum kakaknya melangsungkan perkawinan (ngarunghal). Dalam prakteknya pada Orang Baduy tidak terdapat perbedaan antara sepupu persamaan (paralel-cousins) dan antarsepupu (cross-cousins) sehingga ada kecenderungan dalam perkawinan itu terjadi dalam keluarga yang paling dekat, dapat terjadi sampai dengan sepupu tingkat keempat. Atau, istilah Orang Baduy menyebut dengan baraya.

7)      Ilmu Pengetahuan
Hubungan antara orang baduy Dalam dengan orang baduy Luar selain diikat oleh hubungan adat, juga hubungan yang bersifat formal. Orang baduy Luarlah yang menjadi penghubung masyarakat baduy dengan masyarakat luar. Dengan demikian daerah baduy luar merupakan daerah penyaring berbagai pengaruh dari luar sebelum masuk ke baduy Dalam dan hal ini terlihat dimana semua orang asing tidak boleh masuk ke wilayah baduy Dalam, mereka hanya diperbolehkan sampai di wilayah baduy Luar saja. Untuk kepentingan hubungan dengan luar, termasuk hubungan dengan urusan pemerintahan formal, maka orang baduy Luarlah yang ditunjuk untuk dijadikan Kepala Desa.
Didalam Adat istiadat masyarakat baduy terdapat beberapa pantangan/tabu (buyut) untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Keseluruhan pantangan/tabu (buyut) itu mengatur hubungan-hubungan perilaku orang baduy baik secara perorangan, hubungan dengan kelompok masyarakatnya maupun dengan lingkungan alamnya yang dianggap sebagai tanah titipan dari nenek moyangnya.
Pesan nenek moyang yang dititipkan kepada Puun (Ketua Adat) harus dilaksanakan dan dipatuhi oleh semua orang baduy, sebab pelanggaran terhadap pantangan/tabu (buyut) atas pesan tersebut dapat mengakibatkan berbagai hal yang merugikan. Keseluruhan pantangan/tabu (buyut) itu merupakan pedoman tingkah laku dan pedoman hidup yang tercakup dalam ungkapan yang walaupun tidak tertulis, tetapi ditaati dan dapat dijelmakan dalam perilaku sehari-hari setiap orangbaduy, baik diantara mereka sendiri maupun bila berhubungan dengan orang luar masyarakatnya. Ketaatan orang baduy akan adat dari nenek moyangnya itu dimanifasikan dalam ungkapan teu wasa.

C.  Suku Baduy memiliki Budaya Fenomenal
Masyarakat baduy mempunyai adat istiadat yang menjadi pegangan hidup bagi masyarakat baduy. Adat masyarakat baduy, terutama baduy Dalam, berupa hukum-hukum adat yang bersifat mengikat. Segala hal yang dilarang adat, walau tidak secara tertulis, tidak dapat ditentang. Pelanggaran terhadap aturan-aturan adat itu dipercaya akan membawa bencana. Masyarakat menolak pembangunan puskesmas di baduy karena mereka punya cara pengobatan tersendiri sejak dulu. Penolakan serupa juga dilontarkan ketika mereka ditawari sistem pertanian baruyangyang dapat menghasilkan panen dua kali setahun. Warga baduy telah mempunyai sistem dan cara pertanian sendiri. Dengan sistem pertanian yang menghasilkan panen satu kali dalam setahun, mereka percaya mampu memanen gabah yang baik dan tahan disimpan di lumbung hingga 100 tahun. Sehingga di masyarakat baduy tidak pernah mengalami kelaparan ataupun busung lapar. Kalau pertanian dipaksakan menggunakan pupuk supaya bisa panen dua kali setahun, kualitas padinya malah jadi menurun. Masyarakat baduy, khususnya baduy Dalam, menggantungkan hidupnya pada pertanian tradisional. Mereka menanam padi dan palawija di ladang tadah hujan (huma). Sesuai adat, pengolahan pertaniannya tidak boleh menggunakan alat-alat berat, seperti cangkul dan bajak. Mereka juga tidak diperbolehkan membelokkan air untuk pengairan huma. Padi yang dipanen selama satu tahun sekali ini disimpan dalam lumbung (leuit). Padi yang disimpan dalam lumbung khas baduy bisa bertahan hingga puluhan tahun. Padi tersebut, sesuai adat, tidak boleh dijual.
Masyarakat baduy melarang orang luar masuk ke dalam komunitasnya, terutama orang asing (Non WNI) kecuali untuk berziarah atau penelitian dan melarang membawa peralatan yangberbau teknologi apabila masuk ke daerah lingkungan baduy. Masyarakatbaduytidak menjual hasil produksinya keluar daerah baduy. Kebudayaan masyarakat baduy merupakan kebudayaan yang khas, maka dapat dikatakan bahwa kebudayaan suku baduy merupakan salah satu kebudayaan fenomenal di Indonesia sebagai salah satu suku budaya yang berkembang dan dilestarikan oleh orang suku baduy.







BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Kebudayaan merupakan respon positif manusia terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di sekitarnya. Selain itu, budaya merupakan manifestasi dari aspek manusia yang multi-dimensional.
Segala teori kebudayaan terlalu lamban untuk memahami keseharian manusia yang bergerak cepat. Manusia tidak sekedar merajut makna lewat kerja,melainkan komunikasi inter-subjektif dengan simbol-simbol. Manusia sehari-hari adalah manusia yang bercakap, merenung dan mamaknai. Kebudayaan adalah festival kemajemukkan dimensi manusia dan menolak segala bentuk reduksionisme. Manusia bukan semata-mata makhluk ekonomi yang melulu berfokus pada bagaimana bertahan hidup. Ruang refleksi yang tertutup oleh determinasi kerja dibukakan secara kultural. Kebudayaan adalah lokus dimana manusia bukan sekedar pedagang dan pembeli, melainkan makhluk multi-dimensi.

B. Saran
Kebudayaan masyarakat baduy merupakan kebudayaan yang khas oleh karena itu, pemerintah harus memperhatikan Kebudayaan masyarakat baduy agar kebudayaan mereka tetap lestari. Sebaiknya pemerintah daerah kabupaten Lebak tetap memberikan kebebasan bagi suku baduy untuk mengatur masyarakatnya dengan kebudayaan asli mereka.
Maka kebudayaan suku baduy akan menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa kita yang memiliki bermacam-macam kebudayaan dan adat istiadat yang beragam. Namun walaupun memiliki keanekaragaman adat istiadat, bangsa kita tetap mempunyai jiwa persatuan yang kuat seperti yang tercantum dalam semboyan bangsa kita Bhineka Tunggal Ika.





DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. Manusia Dan Beberapa Kebudayaan Di Indonesia. Djakarta : Penerbit Djambatan, 1971
Selo Soemarjan-Soelaeman Soemardi. Setangkai Bunga Sosiologi. Djakarta : Yayasan Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964.
Soekarto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : CV. Rajawali, 1985
Hhtp;//wikipedia.org/wiki/Orang_Kanekes - 37kongserang. Senin, 18 Oktober  2010, 15.50
Hhtp;//.wordpress.com/2008/10/16/suku-baduy-banten/d. Senin, 18 Oktober 2010, 16.00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar